Copyright © Color of World
Design by Dzignine
Sabtu, 05 Mei 2012

Never Die

This is my origin story. I hope you like it. Please read and comment :)

Chapter 1
.
.
.
Sinar matahari tampak merayap memasuki sebuah kamar dilantai dua suatu rumah yang tidak terlalu besar. Coba kita lihat kamar ini. Kamar yang tidak terlalu besar dengan didominasi warna ungu lembut dengan aroma bunga lavender yang lembut. Disudut kiri kamar—dekat balkon—terdapat sebuah meja belajar yang diatasnya sudah tertata rapi. Tidak jauh dari tempat tidur terdapat sebuah rak buku yang tidak terlalu besar yang berisi buku-buku fiksi dan nonfiksi. Tepat disamping rak buku tersebut terdapat sebuah lemari berpintu dua yang tidak terlalu besar berwarna ungu lembut. Terlihat dibeberapa dinding dan di langit-langit kamar tersebut tertempel beberapa poster seorang anak laki-laki  yang sedang duduk didepan pianonya. Tampaknya sang gadis mengidolakan anak laki-laki itu, terlihat dari banyaknya poster anak itu dikamar tersebut. Tempat tidur dengan seprai yang berwarna serupa dengan dindingnya—ungu lembut—sudah terlihat rapi. Sepertinya pemilik kamar ini adalah orang yang rajin, terbukti dari beberapa suara dari kamar mandi.

Beberapa menit kemudian sang gadis pemilik kamar selesai mandi dan segera memakai seragamnya yang sudah dia persiapkan di atas kasur. Seragam dengan atasan kemeja putih dan rok kotak-kotak berwarna hitam dengan dasi yang serupa. Setelah dirasanya pakaiannya sudah rapi, sang gadis segera menyisir rambutnya dan menghiasnya dengan bandana yang berwarna merah. Dia kemudian menyapukan sedikit menyapukan sedikit bedak pada wajahnya. Sang gadis tersenyum melihat pantulan dirinya di depan cermin. Tak lama kemudian terdengar sebuah suara yang memanggilnya dari bawah. Suara ibunya.

“Fara… ayo cepat bangunn! Sudah waktunya sarapan!” teriak sang ibu.
“Iya bun, ini Fara juga sudah mau turun kok!” jawab sang gadis—Fara.

Fara PoV

Halo, perkenalkan namaku Fara. Alfara Zahra Nurina. Aku siswa kelas dua SMA Nusa Harapan. Tepatnya baru masuk kelas dua ini. Yap, ini adalah tahun ajaran baru, dan hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur yang—sebenarnya kurang—panjang. Aku sudah sangat merindukan teman-temanku. Hm, aku juga tidak sabar merasakan menjadi siswa kelas dua. Tahun ini aku genap berusia enam belas tahun, tepat saat hari kenaikan kelas.

Oh ya, yang tadi memanggilku itu bundaku. Bisa dibilang bunda itu alarm keluarga, karena setiap pagi bunda selalu berteriak membangunkan kami, kecuali aku tentunya. Karena aku adalah satu-satunya anak perempuan bunda. Aku ini anak kedua dari tiga bersaudara. Yap, kakak dan adikku laki-laki semua. Oleh karena itu, kadang aku nggak perlu dibangunin bunda soalnya aku juga harus bantuin bunda masak buat sarapan. Kadang? Iya, kadang. Soalnya aku ini juga hobi ngebo lhoo! Apalagi kalau aku kecapekan sama kegiatan di sekolah pasti aku bakal susah banget buat dibangunin. Hehehe :p

“Fara! Ngapain aja kamu? Ayo cepet turun, nanti telat masuk lhoo..”

Kudengar terikan bunda dari bawah. “Iya bun…” Setelah mematut diriku sekali lagi, aku segera mengambil tasku yang sudah kusiapkan tadi malam. Aku mengambil tas selempang unguku, lalu segera turun ke bawah dan menuju dapur. Eits, seperti biasa sebelum berangkat sekolah aku selalu menyempatkan diri berpamitan pada foto ayahku dan idola besarku ;)

Aku mengambil foto ayah yang ada di meja belajarku dan tersenyum padanya. “Ayah, Fara berangkat dulu yaa! Semoga hari pertama di kelas dua ini, semuanya berjalan lancar. Ayah baik-baik disana yah!” Setelah berpamitan pada ayah, aku beralih pada poster besar yang ada diatas meja belajarku.

Sekali lagi aku tersenyum. “Nah, ecen.. aku berangkat dulu yaah.. semoga hari ini baik-baik aja dan semoga aku nggak akan pernah bosan buat nyeritain kamu ke temen-temen. Aku kangen banget sama temen-temenku. Ok, I have to go now. See you greyson, hope you have a great day today! :)”

Setelah berpamitan pada mereka aku segera turun menuju dapur, takut kalau bunda nanti marah kalau aku lama-lama di kamar.

“Pagi, bunda..” sapaku riang, seperti biasa disertai kecupan singkat dipipi bunda :)

“Dasar nggak berubah, selalu aja lama kalau dandan,” kata Bunda.

“Yaah, Fara kan cewek bunda.. jadi wajar kalau dandannya lama,” jawabku mengelak.

“Ya sudah, sana bangunin adikmu dulu..”

“Huft, dia itu kapan sih bisa bangun sendiri,” gerutuku.

Sambil tetap menggerutu aku kembali naik ke atas untuk membangunkan adikku yang raja tidur itu. Selalu begini tiap pagi. Dia nggak pernah bisa bangun sendiri, dibanguni aja belum tentu bangun apalagi bangun sendiri. Adikku Kholif—Kholif Banu Saputra—itu padahal udah kelas satu SMP tapi masih aja kayak anak kecil. Yah, memang dia baru masuk SMP tahun ini sih, tapi kan seharusnya semakin naik tingkatnya dia harus belajar untuk semakin dewasa. Iuh, ngomong apa sih aku ini -.-

Tanpa mengetuk pintu kamar adik malasku itu—karena pasti nggak aka nada gunanya, cuma buang-buang tenaga aja—aku langsung masuk dan segera membuka jendela kamarnya kemudian menyingkap selimut yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Aku heran, bagaimana dia bisa bernafas kalau tidurnya seperti itu.

“Hei, sleeping beauty! Cepet bangun!! Noh, pangeran udah nungguin looh!” teriakku padanya. Dan seperti yang aku duga, dia nggak menunjukkan reaksi terganggu sama sekali. Dasar kebo!

“Hoi, raja kebo! Bangun! Anak buahmu udah nungguin tuh!” Belum ada pergerakan dari Kholif sama sekali.

Aku yang udah geram akhirnya berjalan ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Aku mengambil gayung dan membawanya keluar. Kupercikkan sedikit air ke wajah Kholif. Bagus, dia sudah merasa sedikit terganggu.

“Lif, bangun Lif bangun!! Kebakaran, Lif! Lif, bangun bangun!! Bangun, dek!!” Aku pura-pura berteriak histeris padanya dengan tetap memercik-mercikkan air ke mukanya. Yes! Berhasil! Dia udah bangun sekarang!

“Hah, kebakaran? Kebakaran mana kebakaran? Air! Air mana air? Bunda gimana kak? Bunda nggak apa-apa kan?” teriak Kholif panik.
“Noh, kebakaran di hutan Kalimantan sana!!” jawabku geli.

“Yee, tadi katanya ada kebakaran..” Kholif terlihat kesal karena sukses aku kerjain.

“Ada apa? Apanya yang kebakaran?”

Kulihat bunda sama kak Alif—kakakku—sudah berada di depan pintu kamar Kholif. Bunda terlihat khawatir, kak Alif juga nggak jauh beda. Kemudian aku tersenyum menenangkan mereka.

“Nggak ada kebakaran kok, Bun.. tadi Fara cuma mau bangunin adek aja.” Aku menjelaskan dengan sedikit perasaan bersalah karena sampai membuat bunda khawatir.

“Ck, Fara.. kamu bikin bunda jantungan…” kata Bunda sambil mengelus dadanya.

“Iya tuh, bunda… Kak Fara, bikin jantungan aja! Ganggu Kholif aja, orang lagi mimpi indah malah diteriakin kebakaran!” Kholif menyahut.

“Kamu juga sih, Lif.. makanya kalau dibangunin itu jangan males!” Kali ini Kak Alif yang berkomentar. Yes! Kak Alif dipihakku!

“Ya udah, ya udah… Kholif, kamu cepet mandi! Kamu nggak mau terlambat di hari pertamamu di SMP, kan?” kata Bunda menengahi.

“Iya, bunda..”

“Ya sudah, ayo kita keluar.” Mendengar komando dari Bunda barusan aku segera keluar.
.
.
Seperti biasa suasana sarapan selalu diselingi dengan cerita-cerita kecil dari Kak Alif dan nasehat dari Bunda dan Mbok Tutik yang tidak ikut sarapan karena sedang belanja ke pasar. Apalagi seteleah kejadian ‘kebakaran’ tadi. Seperti biasa juga Bunda akan duduk di kursi kepala keluarga—di tengah.

Apa kalian heran kenapa bukan ayah ku saja yang duduk di kursi keluarga? Itu karena… ayah sudah pergi meninggalkan kami tiga tahun yang lalu saat aku kelas tiga SMP. Ayah mempercyakan kewenangan sebagai kepala keluarga pada Bunda, Ayah menyerahkan semua tanggung jawabnya kepada Bunda termasuk mengurus kami sendiri, sebagai single parent. Tapi aku sama sekali nggak marah sama Ayah, walaupun aku pernah merasa kecewa saat pertama kali Ayah memutuskan untuk meninggalkan kami. Tapi aku yakin itu bukan sepenuhnya keinginan Ayah. Ayah mendapat tugas dan dia harus pergi menjalankan tugasnya. Ayah mendapat tugas dari Yang Maha Kuasa. Aku percaya Ayah pasti bahagia disana, karena pasti sekarang Ayah sedang berada di tempat paling indah.

Ya, Ayah sudah dipanggil Tuhan sejak tiga tahun lalu. Ayah adalah seorang pilot dan aku bangga pada Ayah karena Ayah pergi saat dia sudah benar-benar tuntas menjalankan misinya, yaitu mengantar orang-orang ke tempat yang mereka inginkan dengan selamat. Kami sendiri tidak tahu apa penyebab meninggalnya Ayah, karena Ayah seorang pilot jadi dia rutin memeriksakan kesehatannya setiap enam bulan sekali, dan dokter bilang Ayah sehat-sehat saja. Tiba-tiba saja setelah selesai menunaikan tugasnya Ayah merasa sesak nafas, kami langsung panik dan membawanya ke rumah sakit. Dan saai itulah terjadi, Ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.

Awalnya aku merasa marah, kecewa, sedih, tidak terima, dan banyak perasaan lain lagi. Kenapa Ayah harus pergi saat itu? Kenapa? Kenapa disaat kami tidak bertemu Ayah selama dua bulan dan kami harus rela melepaskannya untuk selamanya? Selama seminggu setelah kepergian Ayah, aku tidak mau sekolah dan mogok makan. Aku hanya menghabiskan hariku untuk mengurung diri dikamar, menangis bersama foto Ayah. Bunda terlihat tegar menghadapinya tapi aku yakin pasti Bunda juga tidak bisa menerima ini dengan lapang dada. Tapi demi kami Bunda harus terlihat tegar. Kak Alif yang paling bisa menghadapi ini dengan tenang dan dewasa, meskipun Kak Alif sempat terguncang juga. Dia selalu member semangat pada Bunda, aku dan Kholif. Bahka Kholif menjadi pendiam selama seminggu lebih. Mbok Tutik—rewang kami—juga sama kelabunya, dia setiap saat menghabiskan waktunya di kolam ikan yang merupakan ikan peliharaan Ayah. Ya, selama seminggu lebih rumah kami diliputi mendung.

Baru setelah hampir sebulan kami mencoba untuk bangkit—itu juga berkat Kak Alif yang selalu memberi kami nasehat bahwa Ayah pasti akan sedih dan tersiksa disana jika melihat kami yang seperti tidak punya semangat hidup. Sejak saat itu aku beranggapan bahwa Ayah pastilah sangat disayangi Tuhan, karena Tuhan memanggilnya begitu cepat—menurutku. Aku percaya Ayah sekarang saat bahagia dan bisa tenang disana karena melihat kami baik-baik saja dan bisa bangkit tanpa Ayah. Walaupun Ayah tidak ada disini bersama kami, tapi aku selalu merasa bahwa Ayah pasti selalu menyertai kami dimanapun kami pergi. Oleh karena itulah aku selalu berpamitan pada Ayah, sebelum berangkat sekolah.

Oh ya, kalian pasti belum kenal Kak Alif kan? Kak Alif itu kakak yang baiiik banget. Sesuai namanya Alif Wahyu Pratama. Dia bener-bener kayak wahyu, karena dia kami semua bisa tersenyum lagi setelah ditinggal sama Ayah. Dimataku sama Kholif, Kak Alif bisa menggantikan posisi Ayah. Dia sendiri juga sadar kalau sekarang dia lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Kak Alif mahasiswa jurusan Fisika di UGM. Hebat nggak? Dia juga kerja sambilan dengan mengeles privat anak-anak SMP maupun SMA, buat bantuin Bunda juga. Pokoknya aku bangga banget punya kakak kayak Kak Alif :D

“Makan sambil melamun itu nggak baik lhoo, dek..”

Aku segera tersadar dari lamunan panjangku saat mendengar teguran dari Kak Alif. Bunda yang sepertinya sudah tahu apa yang kulamunkan hanya memberi senyuman menenangkan.

“Masih juga dipikirin? Ayah pasti nggak suka lhoo liat putrinya satu-satunya sedih gara-gara dia..” Bunda mengingatkan.

“Ah, siapa bilang Fara sedih? Fara selalu senang dan ada perasaan bangga kalau lagi mikirn ayah,” jawabku dengan senyum lembut membayangkan Ayah ada disini.

“Ah, Kak Fara nih selalu aja ngerusak suasana sarapan yang tadinya damai jadi muram gini!” gerutu Kholif.

“Nah kan, sekarang keliatan siapa yang masih sedih…” kataku sambil mengerling pada Khoif.

“Eh, siapa bilang aku sedih.. aku nggak sedih tau, cuma kalau ngomongin Ayah pas lagi sarapan gini itu rasanya gimanaaa gitu.. pasti jadi kangen,” kata Kholif semakin lirih pada kalimat terkahirnya.

“Kholif, berapa kali harus bunda bilang kalau Ayah itu pasti selalu ada bersama kita. Bunda yakin Ayah pasti sekarang sedang melihat kita,” kata Bunda menenangkan Kholif.

“Tuh, dengerin bunda!”

“Cowok nggak boleh lembek kayak gini dong, dek! Harus tegar, iya kan?” kata Kak Alif sambil mengacak rambut Kholif yang duduk disampingnya.

“Huh? Iya sih, tapi namanya orang kangen kan nggak ada hubungannya sama gender, kak…” gerutu Kholif yang merasa kesal rambutnya diacak sama Kak Alif.

“Udah, udah.. Kholif harus percaya kalau Ayah selalu ada sama Kholif. Kalau Kholif kangen sama Ayah kan bisa ke tempat-tempat yang Kholif sama Ayah sering datengin. Atau mungkin Kholif bisa main bola sama Kak Alif sebagai pengganti Ayah,” kata Bunda menengahi.

“Iya sih, Bunda..”

“Ya sudah, ayo pada berangkat.. Ini sudah hampir jam setengah 7 lhoo..” Bunda mengingatkan kami.

“Oh ya? Kalau gitu Fara berangkat dulu, Bunda.” Aku berdiri dan berjalan ke arah bundan untuk berpamitan. Aku mencium tangan Bunda dan pipi kanannya sambil tersenyum kecil. Setelah itu aku berpamitan pada Kak Alif dan Kholif.

“Lif, nanti jangan kayak anak kecil ya.. jangan nangis waktu di MOS..” kataku mengingatkan sekaligus mengejek Kholif yang nanti akan menjalani Masa Orientasi Sekolah.

“Huh, nggak usah ngeledek deh kak..”

“Ahaha.. Fara berangkat dulu yaa.. Assalamualaikum..”
“Walaikumsalam…”

.
.
Aku berjalan menuju halte bis yang tidak terlalu jauh dari komplek perumahan. Aku melihat jam tangan unguku. Sudah setengah tujuh rupanya. Aku sedikit mempercepat langkahku. Aku tidak ingin terlambat dia hari pertama sekolah. Untuk pergi kesekolah dari rumah aku memang membutuhkan waktu sekitar 15 menit kalau naik bis, itupun kalau bisnya tidak nge-time dulu. Lagipula aku sudah sangat merindukan teman-temanku. Mereka pasti punya banyak cerita setelah liburan yang—cukup—panjang.

Lulu, Lita, Sifa, aku kangen banget sama kalian! Tunggu aku yaah.. ^^
.
.
.
To be continue…

.
.
.
Leave a comment, please :) Next or delete? :o 

0 komentar:

Posting Komentar