This is my origin story. I hope you like it. Please read and comment :)
Chapter 1
.
.
.
Sinar matahari
tampak merayap memasuki sebuah kamar dilantai dua suatu rumah yang tidak
terlalu besar. Coba kita lihat kamar ini. Kamar yang tidak terlalu besar dengan
didominasi warna ungu lembut dengan aroma bunga lavender yang lembut. Disudut kiri
kamar—dekat
balkon—terdapat
sebuah meja belajar yang diatasnya sudah tertata rapi. Tidak jauh dari tempat
tidur terdapat sebuah rak buku yang tidak terlalu besar yang berisi buku-buku
fiksi dan nonfiksi. Tepat disamping rak buku tersebut terdapat sebuah lemari
berpintu dua yang tidak terlalu besar berwarna ungu lembut. Terlihat dibeberapa
dinding dan di langit-langit kamar tersebut tertempel beberapa poster seorang
anak laki-laki yang sedang duduk didepan
pianonya. Tampaknya sang gadis mengidolakan anak laki-laki itu, terlihat dari
banyaknya poster anak itu dikamar tersebut. Tempat tidur dengan seprai yang
berwarna serupa dengan dindingnya—ungu
lembut—sudah terlihat rapi. Sepertinya
pemilik kamar ini adalah orang yang rajin, terbukti dari beberapa suara dari
kamar mandi.
Beberapa menit
kemudian sang gadis pemilik kamar selesai mandi dan segera memakai seragamnya
yang sudah dia persiapkan di atas kasur. Seragam dengan atasan kemeja putih dan
rok kotak-kotak berwarna hitam dengan dasi yang serupa. Setelah dirasanya
pakaiannya sudah rapi, sang gadis segera menyisir rambutnya dan menghiasnya
dengan bandana yang berwarna merah. Dia kemudian menyapukan sedikit menyapukan
sedikit bedak pada wajahnya. Sang gadis tersenyum melihat pantulan dirinya di
depan cermin. Tak lama kemudian terdengar sebuah suara yang memanggilnya dari
bawah. Suara ibunya.
“Fara… ayo cepat
bangunn! Sudah waktunya sarapan!” teriak sang ibu.
“Iya bun, ini
Fara juga sudah mau turun kok!” jawab sang gadis—Fara.
Fara PoV
Halo,
perkenalkan namaku Fara. Alfara Zahra Nurina. Aku siswa kelas dua SMA Nusa
Harapan. Tepatnya baru masuk kelas dua ini. Yap, ini adalah tahun ajaran baru,
dan hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur yang—sebenarnya
kurang—panjang. Aku sudah sangat merindukan teman-temanku. Hm, aku juga tidak
sabar merasakan menjadi siswa kelas dua. Tahun ini aku genap berusia enam belas
tahun, tepat saat hari kenaikan kelas.
Oh ya,
yang tadi memanggilku itu bundaku. Bisa dibilang bunda itu alarm keluarga,
karena setiap pagi bunda selalu berteriak membangunkan kami, kecuali aku
tentunya. Karena aku adalah satu-satunya anak perempuan bunda. Aku ini anak
kedua dari tiga bersaudara. Yap, kakak dan adikku laki-laki semua. Oleh karena
itu, kadang aku nggak perlu dibangunin bunda soalnya aku juga harus bantuin
bunda masak buat sarapan. Kadang? Iya, kadang. Soalnya aku ini juga hobi ngebo
lhoo! Apalagi kalau aku kecapekan sama kegiatan di sekolah pasti aku bakal
susah banget buat dibangunin. Hehehe :p
“Fara! Ngapain
aja kamu? Ayo cepet turun, nanti telat masuk lhoo..”
Kudengar
terikan bunda dari bawah. “Iya bun…” Setelah mematut diriku sekali lagi, aku
segera mengambil tasku yang sudah kusiapkan tadi malam. Aku mengambil tas
selempang unguku, lalu segera turun ke bawah dan menuju dapur. Eits, seperti
biasa sebelum berangkat sekolah aku selalu menyempatkan diri berpamitan pada
foto ayahku dan idola besarku ;)
Aku mengambil
foto ayah yang ada di meja belajarku dan tersenyum padanya. “Ayah, Fara
berangkat dulu yaa! Semoga hari pertama di kelas dua ini, semuanya berjalan lancar.
Ayah baik-baik disana yah!” Setelah berpamitan pada ayah, aku beralih pada
poster besar yang ada diatas meja belajarku.
Sekali lagi
aku tersenyum. “Nah, ecen.. aku berangkat dulu yaah.. semoga hari ini baik-baik
aja dan semoga aku nggak akan pernah bosan buat nyeritain kamu ke temen-temen. Aku
kangen banget sama temen-temenku. Ok, I have to go now. See you greyson, hope
you have a great day today! :)”
Setelah berpamitan
pada mereka aku segera turun menuju dapur, takut kalau bunda nanti marah kalau
aku lama-lama di kamar.
“Pagi,
bunda..” sapaku riang, seperti biasa disertai kecupan singkat dipipi bunda :)
“Dasar
nggak berubah, selalu aja lama kalau dandan,” kata Bunda.
“Yaah,
Fara kan cewek bunda.. jadi wajar kalau dandannya lama,” jawabku mengelak.
“Ya sudah,
sana bangunin adikmu dulu..”
“Huft, dia
itu kapan sih bisa bangun sendiri,” gerutuku.
Sambil tetap
menggerutu aku kembali naik ke atas untuk membangunkan adikku yang raja tidur
itu. Selalu begini tiap pagi. Dia nggak pernah bisa bangun sendiri, dibanguni
aja belum tentu bangun apalagi bangun sendiri. Adikku Kholif—Kholif Banu
Saputra—itu padahal udah kelas satu SMP tapi masih aja kayak anak kecil. Yah,
memang dia baru masuk SMP tahun ini sih, tapi kan seharusnya semakin naik
tingkatnya dia harus belajar untuk semakin dewasa. Iuh, ngomong apa sih aku ini
-.-
Tanpa mengetuk
pintu kamar adik malasku itu—karena pasti nggak aka nada gunanya, cuma
buang-buang tenaga aja—aku langsung masuk dan segera membuka jendela kamarnya
kemudian menyingkap selimut yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Aku heran,
bagaimana dia bisa bernafas kalau tidurnya seperti itu.
“Hei,
sleeping beauty! Cepet bangun!! Noh, pangeran udah nungguin looh!” teriakku
padanya. Dan seperti yang aku duga, dia nggak menunjukkan reaksi terganggu sama
sekali. Dasar kebo!
“Hoi, raja
kebo! Bangun! Anak buahmu udah nungguin tuh!” Belum ada pergerakan dari Kholif
sama sekali.
Aku yang
udah geram akhirnya berjalan ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Aku mengambil
gayung dan membawanya keluar. Kupercikkan sedikit air ke wajah Kholif. Bagus,
dia sudah merasa sedikit terganggu.
“Lif,
bangun Lif bangun!! Kebakaran, Lif! Lif, bangun bangun!! Bangun, dek!!” Aku
pura-pura berteriak histeris padanya dengan tetap memercik-mercikkan air ke
mukanya. Yes! Berhasil! Dia udah bangun sekarang!
“Hah,
kebakaran? Kebakaran mana kebakaran? Air! Air mana air? Bunda gimana kak? Bunda
nggak apa-apa kan?” teriak Kholif panik.
“Noh,
kebakaran di hutan Kalimantan sana!!” jawabku geli.
“Yee, tadi
katanya ada kebakaran..” Kholif terlihat kesal karena sukses aku kerjain.
“Ada apa? Apanya
yang kebakaran?”
Kulihat bunda
sama kak Alif—kakakku—sudah berada di depan pintu kamar
Kholif. Bunda terlihat khawatir, kak Alif juga nggak jauh beda. Kemudian aku
tersenyum menenangkan mereka.
“Nggak ada
kebakaran kok, Bun.. tadi Fara cuma mau bangunin adek aja.” Aku menjelaskan
dengan sedikit perasaan bersalah karena sampai membuat bunda khawatir.
“Ck,
Fara.. kamu bikin bunda jantungan…” kata Bunda sambil mengelus dadanya.
“Iya tuh,
bunda… Kak Fara, bikin jantungan aja! Ganggu Kholif aja, orang lagi mimpi indah
malah diteriakin kebakaran!” Kholif menyahut.
“Kamu juga
sih, Lif.. makanya kalau dibangunin itu jangan males!” Kali ini Kak Alif yang
berkomentar. Yes! Kak Alif dipihakku!
“Ya udah,
ya udah… Kholif, kamu cepet mandi! Kamu nggak mau terlambat di hari pertamamu
di SMP, kan?” kata Bunda menengahi.
“Iya,
bunda..”
“Ya sudah,
ayo kita keluar.” Mendengar komando dari Bunda barusan aku segera keluar.
.
.
Seperti
biasa suasana sarapan selalu diselingi dengan cerita-cerita kecil dari Kak Alif
dan nasehat dari Bunda dan Mbok Tutik yang tidak ikut sarapan karena sedang
belanja ke pasar. Apalagi seteleah kejadian ‘kebakaran’ tadi. Seperti biasa
juga Bunda akan duduk di kursi kepala keluarga—di tengah.
Apa kalian heran kenapa bukan ayah ku saja
yang duduk di kursi keluarga? Itu karena… ayah sudah pergi meninggalkan kami
tiga tahun yang lalu saat aku kelas tiga SMP. Ayah mempercyakan kewenangan
sebagai kepala keluarga pada Bunda, Ayah menyerahkan semua tanggung jawabnya
kepada Bunda termasuk mengurus kami sendiri, sebagai single parent. Tapi aku
sama sekali nggak marah sama Ayah, walaupun aku pernah merasa kecewa saat
pertama kali Ayah memutuskan untuk meninggalkan kami. Tapi aku yakin itu bukan
sepenuhnya keinginan Ayah. Ayah mendapat tugas dan dia harus pergi menjalankan
tugasnya. Ayah mendapat tugas dari Yang Maha Kuasa. Aku percaya Ayah pasti
bahagia disana, karena pasti sekarang Ayah sedang berada di tempat paling
indah.
Ya, Ayah sudah dipanggil Tuhan sejak tiga
tahun lalu. Ayah adalah seorang pilot dan aku bangga pada Ayah karena Ayah
pergi saat dia sudah benar-benar tuntas menjalankan misinya, yaitu mengantar
orang-orang ke tempat yang mereka inginkan dengan selamat. Kami sendiri tidak
tahu apa penyebab meninggalnya Ayah, karena Ayah seorang pilot jadi dia rutin
memeriksakan kesehatannya setiap enam bulan sekali, dan dokter bilang Ayah
sehat-sehat saja. Tiba-tiba saja setelah selesai menunaikan tugasnya Ayah
merasa sesak nafas, kami langsung panik dan membawanya ke rumah sakit. Dan saai
itulah terjadi, Ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
Awalnya aku merasa marah, kecewa, sedih,
tidak terima, dan banyak perasaan lain lagi. Kenapa Ayah harus pergi saat itu? Kenapa?
Kenapa disaat kami tidak bertemu Ayah selama dua bulan dan kami harus rela
melepaskannya untuk selamanya? Selama seminggu setelah kepergian Ayah, aku
tidak mau sekolah dan mogok makan. Aku hanya menghabiskan hariku untuk
mengurung diri dikamar, menangis bersama foto Ayah. Bunda terlihat tegar
menghadapinya tapi aku yakin pasti Bunda juga tidak bisa menerima ini dengan
lapang dada. Tapi demi kami Bunda harus terlihat tegar. Kak Alif yang paling
bisa menghadapi ini dengan tenang dan dewasa, meskipun Kak Alif sempat
terguncang juga. Dia selalu member semangat pada Bunda, aku dan Kholif. Bahka Kholif
menjadi pendiam selama seminggu lebih. Mbok Tutik—rewang kami—juga sama
kelabunya, dia setiap saat menghabiskan waktunya di kolam ikan yang merupakan
ikan peliharaan Ayah. Ya, selama seminggu lebih rumah kami diliputi mendung.
Baru setelah hampir sebulan kami mencoba
untuk bangkit—itu juga berkat Kak Alif yang selalu memberi kami nasehat bahwa
Ayah pasti akan sedih dan tersiksa disana jika melihat kami yang seperti tidak
punya semangat hidup. Sejak saat itu aku beranggapan bahwa Ayah pastilah sangat
disayangi Tuhan, karena Tuhan memanggilnya begitu cepat—menurutku. Aku percaya
Ayah sekarang saat bahagia dan bisa tenang disana karena melihat kami baik-baik
saja dan bisa bangkit tanpa Ayah. Walaupun Ayah tidak ada disini bersama kami,
tapi aku selalu merasa bahwa Ayah pasti selalu menyertai kami dimanapun kami
pergi. Oleh karena itulah aku selalu berpamitan pada Ayah, sebelum berangkat
sekolah.
Oh ya, kalian pasti belum kenal Kak Alif
kan? Kak Alif itu kakak yang baiiik banget. Sesuai namanya Alif Wahyu Pratama.
Dia bener-bener kayak wahyu, karena dia kami semua bisa tersenyum lagi setelah
ditinggal sama Ayah. Dimataku sama Kholif, Kak Alif bisa menggantikan posisi
Ayah. Dia sendiri juga sadar kalau sekarang dia lah yang menjadi tulang
punggung keluarga. Kak Alif mahasiswa jurusan Fisika di UGM. Hebat nggak? Dia juga
kerja sambilan dengan mengeles privat anak-anak SMP maupun SMA, buat bantuin
Bunda juga. Pokoknya aku bangga banget punya kakak kayak Kak Alif :D
“Makan sambil melamun itu nggak baik lhoo,
dek..”
Aku segera tersadar dari lamunan panjangku
saat mendengar teguran dari Kak Alif. Bunda yang sepertinya sudah tahu apa yang
kulamunkan hanya memberi senyuman menenangkan.
“Masih juga dipikirin? Ayah pasti nggak
suka lhoo liat putrinya satu-satunya sedih gara-gara dia..” Bunda mengingatkan.
“Ah, siapa bilang Fara sedih? Fara selalu
senang dan ada perasaan bangga kalau lagi mikirn ayah,” jawabku dengan senyum
lembut membayangkan Ayah ada disini.
“Ah, Kak Fara nih selalu aja ngerusak
suasana sarapan yang tadinya damai jadi muram gini!” gerutu Kholif.
“Nah kan, sekarang keliatan siapa yang
masih sedih…” kataku sambil mengerling pada Khoif.
“Eh, siapa bilang aku sedih.. aku nggak
sedih tau, cuma kalau ngomongin Ayah pas lagi sarapan gini itu rasanya gimanaaa
gitu.. pasti jadi kangen,” kata Kholif semakin lirih pada kalimat terkahirnya.
“Kholif, berapa kali harus bunda bilang
kalau Ayah itu pasti selalu ada bersama kita. Bunda yakin Ayah pasti sekarang
sedang melihat kita,” kata Bunda menenangkan Kholif.
“Tuh, dengerin bunda!”
“Cowok nggak boleh lembek kayak gini dong,
dek! Harus tegar, iya kan?” kata Kak Alif sambil mengacak rambut Kholif yang
duduk disampingnya.
“Huh? Iya sih, tapi namanya orang kangen
kan nggak ada hubungannya sama gender, kak…” gerutu Kholif yang merasa kesal
rambutnya diacak sama Kak Alif.
“Udah, udah.. Kholif harus percaya kalau Ayah
selalu ada sama Kholif. Kalau Kholif kangen sama Ayah kan bisa ke tempat-tempat
yang Kholif sama Ayah sering datengin. Atau mungkin Kholif bisa main bola sama
Kak Alif sebagai pengganti Ayah,” kata Bunda menengahi.
“Iya sih, Bunda..”
“Ya sudah, ayo pada berangkat.. Ini sudah hampir
jam setengah 7 lhoo..” Bunda mengingatkan kami.
“Oh ya? Kalau gitu Fara berangkat dulu,
Bunda.” Aku berdiri dan berjalan ke arah bundan untuk berpamitan. Aku mencium
tangan Bunda dan pipi kanannya sambil tersenyum kecil. Setelah itu aku
berpamitan pada Kak Alif dan Kholif.
“Lif, nanti jangan kayak anak kecil ya..
jangan nangis waktu di MOS..” kataku mengingatkan sekaligus mengejek Kholif
yang nanti akan menjalani Masa Orientasi Sekolah.
“Huh, nggak usah ngeledek deh kak..”
“Ahaha.. Fara berangkat dulu yaa..
Assalamualaikum..”
“Walaikumsalam…”
.
.
Aku berjalan menuju halte bis yang tidak
terlalu jauh dari komplek perumahan. Aku melihat jam tangan unguku. Sudah setengah
tujuh rupanya. Aku sedikit mempercepat langkahku. Aku tidak ingin terlambat dia
hari pertama sekolah. Untuk pergi kesekolah dari rumah aku memang membutuhkan
waktu sekitar 15 menit kalau naik bis, itupun kalau bisnya tidak nge-time dulu. Lagipula aku sudah sangat
merindukan teman-temanku. Mereka pasti punya banyak cerita setelah liburan yang—cukup—panjang.
Lulu, Lita, Sifa, aku kangen banget sama
kalian! Tunggu aku yaah.. ^^
.
.
.
To
be continue…
.
.
.
Leave a comment, please :) Next or delete? :o
0 komentar:
Posting Komentar