Haihaihai minna~ ^^
Ehm, saya nggak nyangka lhoo ternyata fanfic yang kemarin (dulu) saya post ternyata ada juga yang berminata membacanya, cukup banyak pula. Hm, sebenernya sih saya kemarin keblabasn nge post nya, itu seharusnya sampai Chapter 2 dulu, eh nggak taunya udah sampai chapter 4 -__- daripada saya nge post ulang kan ribet plus lama, jadi biarin aja deh.. paling juga nggak ada yang baca.. tapi ternyata ada juga peminatnya, jadi saya post nih lanjutannya. Jadi ini dimulai chapter 5, nanti kalau chapter ini dapet respon yang lumayan, aku post lanjutannya deh..
Okeh, ini dia.. Happy Reading, readerdeul ^^
Chapter 5
Malam yang sunyi nan indah.
Bintang-bintang bertebaran di angkasa menemani sang bulan. Langit pun terlihat
cerah. Di sebuah taman rumah tampak seorang gadis yang sedang menikmati udara
malam yang sejuk di musim semi ini. Gadis itu memakai rok putih selutut dan
sweater violet.
Hyuuga Hinata. Dia suka menghabiskan
malam dengan duduk-duduk di taman samping rumahnya, apalagi saat musim semi.
Suasana yang tenang mampu menenangkan pikirannya yang sedang galau. Matanya
yang biasanya memancarkan kelembutan kini terlihat sayu. Senyum lembut yang
menenangkan kini digantikan senyum pahit mengingat kejadian tadi siang. Ya,
tadi siang adalah sebab utama sang lavender kehilangan cahayanya.
Padahal dia sudah memantapkan
hatinya, akan mengembalikan pesona sahabatnya walau harus melukai hatinya
sendiri. Tapi kenyataannya saat di toko buku tadi air matanya hampir jatuh.
Ternyata rasanya lebih sakit daripada yang ia bayangkan. Rasanya saat ini juga
ia ingin menangis sepuasnya. Tapi dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk
tidak menangis, jika ia menangis itu artinya dia tidak suka melihat sahabatnya
bahagia, itu artinya dia lebih suka melihat sahabatnya yang bagaikan tak
mempunyai semangat hidup. Setidaknya itulah yang dipikirkan gadis itu.
.
.
.
Flashback
Setelah Hinata menjelaskan rencananya
pada Sasuke, mereka; Sasuke, Hinata, Sakura, Ino; segera berangkat ke toko
buku.
Ino dan Hinata duduk di kursi
penumpang belakang, sedangkan Sakura –tentu saja- duduk di kursi penumpang
samping kemudi, dengan kata lain Sakura duduk di samping Sasuke. Awalnya dia
tidak mau, tapi karena dipaksa dan desakan dari Ino dan Hinata akhirnya dia
mau. Mereka bilang ada yang perlu mereka diskusikan, saat Sakura bertanya
mereka hanay memasang wajah menyebalkan, yaah sebenarnya hanya Ino, Hinata
hanya memasang senyum saja. Sakura yakin pasti ada yang mereka rencanakan.
Hinata dan berbincang asik di kursi
belakang. Sedangkan suasan canggung tercipta di kursi depan.
“Kenapa kalian diam saja?” tanya
Hinata.
“Bukankah kau selalu berharap bisa ngobrol
dengan Sakura, Sasuke?” goda Ino.
Sakura yang mendengar godaan Ino
hanya bisa berblushing ria, sedangkan Sasuke langsung melayangkan deathglare
terbaiknya pada Ino lewat kaca.
“Jangan malu-malu Sasuke,” tambah
Hinata.
Kini deathglare Sasuke beralih ke
Hinata. Matanya seolah-olah berkata ‘kenapa kau ikut-ikutan’. Hinata hanya
memasang wajah innocentnya.
“Kalian ngomong apa sih?” Sakura yang
sudah tidak tahan karena digoda terus akhirnya bersuara.
“Coba lihat wajahmu Forehead!
Setahuku wajahmu yang semerah itu hanya terlihat kalau kau sedang berada
didekat orang yang kau sukai...”
“Berarti kau menyukai Sasuke,
Sakura-chan?”
“A-apa? Te-tentu saja tidak. Jangan
dengarkan omongannya Ino-pig, Hinata...”
“Kenapa kau jadi salah tingkah
begitu, Forehead?”
“Diamlah, Pig.” ketus Sakura.
Hinata hanya tersenyum melihat
pertengkaran kecil kedua temannya. Merupakan salah satu hobinya melihat
pertengkaran Sakura dan Ino. Hinata mengalihkan pandangannya pada Sasuke. Saat
itu Sasuke juga sedang menatapnya tajam melalui kaca kemudi. Hinata tersenyum
simpul menanggapi tatapan tajam Sasuke.
‘Yaah, setidaknya itu lebih baik
daripada melihat matamu yang sayu.’
Waktu yang ditempuh untuk sampai di
toko buku dari taman Konoha hanya sekitar 30 menit. Dengan diwarnai
pertengkaran Sakura dan Ino perjalanan jadi terasa lebih cepat. Kini mereka sudah
sampai di toko buku sekaligus perpustakaan umum Konoha.
“Ohayou, Jiraiya-san...” sapa Hinata
saat sudah memasuki toko buku.
Jiraiya adalah pengarang terkenal
se-Konoha sekaligus pemilik toko buku dan perpustakaan itu. Hinata sangat
mengagumi karya-karya Jiraiya. Tapi tidak semua karya Jiraiya, Hinata suka.
Sebagian karya Jiraiya hanya diperuntukkan untuk kalangan dewasa.
Jiraiya dan Hinata sudah saling
mengenal, karena Hinata sering sekali berkunjung ke toko buku itu. Entah untuk
membeli buku atau hanya sekedar untuk membaca di perpustakaan.
“Oh, Hinata... Sudah lama kamu tidak
kesini...”
“Iya. Sepertinya sekarang saya tidak
bisa sering-sering kesini.”
“Kau sudah kelas 2 sih yaa... Hm, tidak
biasanya kau datang ramai-ramai begini”
“Eh? Oh, kebetulan teman-teman saya
juga sedang mencari buku, jadi kami pergi bersama saja.”
“Oh... Yaa sudah, selamat berbelanja
kalau begitu,” kata Jiraiya seraya mengedipkan matanya pada Ino yang ada di
samping Hinata.
Ino yang ada disamping Hinata menjadi
ngeri sendiri. ‘Udah tua gitu kok, masih genit...’
“Kalau begitu kami permisi,” pamit
Hinata sopan.
“Ya. Selamat bersenang-senang,” kata
Jiraiya sambil tersenyum genit pada Ino.
Saat dirasanya sudah jauh dari Jiraiya,
Ino berbisik pada Hinata.
“Kenapa kau bisa akrab dengan
kakek-kakek genit macam dia, Hinata-chan?”
“Jiraiya-san maksudmu?”
“Siapa lagi kalau bukan dia...”
“Yaah, dia memang genit... tapi kalau
denganku tidak kok...”
Ino hanya memutar bola matanya mendengar
jawaban Hinata. Yaah, Hinata kan orangnya lembut, sopan, dan tidak neko-neko,
jadi Jiraiya merasa tidak enak kalau menggoda Hinata.
“Kau mau cari buku apa, Sasuke?”
tanya Hinata pada Sasuke.
“Kamus.”
“Memang kamusmu yang hampir satu
lemari penuh belum cukup?”
“Jangan berlebihan. Aku hanya punya 4
kamus.”
“Kamus sebanyak itu untuk apa?”
timpal Ino.
“Kukira kau cukup pintar untuk
mengetahuinya.”
Ino mendengus sebal mendengar jawaban
Sasuke. ‘Tadi saat Hinata menanyainya saja dijawab...’ gerutu Ino dalam hati.
“Sakura-chan? Kenapa diam saja? Apa
kau sakit?” tanya Hinata beruntun pada Sakura.
“E-eh?? T-tidak kok...” jawab Sakura
kelabakan.
“Kau juga mau mencari kamus kan,
Sakura-chan?”
“I-iya...”
“Sejak kapan kau gagap, Forehead?”
“Aku tidak gagap,” ketus Sakura pada
Ino
“Sudah sudah... Kalau begitu
Sakura-chan sama Sasuke saja yaa...”
“E-eh??” wajah Sakura langsung
memerah mendengar perkataan Hinata.
“Kalian kan sama-sama mau mencari
kamus, aku dan Ino-chan mau mencari novel...”
“Sampai jumpa, Forehead... Heh,
‘pantat ayam’, baik-baik sama Sakura
yaa..” kata Ino seraya menarik Hinata ke rak buku bagian novel.
Sepeninggal Hinata dan Ino, suasan
diantara Sasuke dan Sakura jadi canggung.
“Hn, kau mau terus berdiri disini
atau mau mencari buku?”
“E-eh, tentu saja cari buku...”
“Hn, kalau begitu ayo...”
‘E-eh? I-itu tadi Sasuke mengajakku
kan?’
“I-iya...”
“Hihihi, sudah lama aku tidak melihat
wajah Forehead yang seperti itu...” kata Ino.
Ternyata sedari tadi mereka mengawasi
Sasuke dan Sakura dari balik rak buku tidak jauh dari tempat mereka berdiri
tadi.
“Hm, ternyata Sakura-chan bisa juga
menjadi seperti itu...”
“Yaah, begitulah dia kalau sedang
menyukai seseorang... Nah, sekarang kau mau cari buku apa Hinata-chan? Biar
kutemani kau...”
“Mm, kita ke bagian buku-buku
kedokteran dulu...”
“Wah, ternyata kau tertarik dengan
ilmu kedokteran yaa Hinata...”
“Mm, tidak juga. Aku hanya ingin
membelikan buku untuk aniki yang minggu depan akan pulang.”
“Oh... Kalau begitu ayo...”
Sepertinya sudah lama mereka berempat
berkeliling. Sakura dan Sasuke mencari buku di bagian dictionary, sedangkan
kini Ino dan Hinata sedang mencari novel.
Ketika sedang membaca resensi sebuah
novel, Hinata melihat Sasuke sedang tersenyum pada Sakura. Senyum yang biasanya
hanya ditunjukkan pada Hinata. Hinata merasakan perih dihatinya.
“Sepertinya ‘pantat ayam’ berhasil
mengeluarkan kata maaf dari bibirnya,” kata Ino yang juga sedang memperhatikan
mereka.
“Ya. Akhirnya dia bisa
mengesampingkan egonya.”
‘Seharusnya aku senang kan? Bukankah
ini yang aku inginkan? Tapi kenapa hatiku rasanya perih sekali?’
End of Flashback
.
.
.
Hinata hampir saja menteskan air
matanya kalau dia tidak mendengar suara yang sangat dikenalnya.
“Kau bisa masuk angin.”
Sasuke. Ya, dialah yang telah membuat
lavender yang biasanya terlihat indah kini terihat layu. Dialah orang yang
telah membuat sinar dimata Hinata hilang entah kemana. Dialah orang yang telah
membuat mata Hinata yang biasanya memancarkan ketenangan bagi yang menatapnya
kini menimbulkan kekhawatiran bagi yang menatapnya. Dialah orang yang telah
menghilangkan senyum lembut Hinata. Dialah orang yang mengisi tempat spesial di
hati Hinata sekaligus orang yang menghancurkan hatinya. Sahabatnya; Uchiha
Sasuke.
“Kau sedang apa Sasuke? Kau bisa
sakit...”
“Tch. Seharusnya aku yang mengatakan
itu padamu Hinata. Kau sedang apa?”
“Kurasa kau sudah tau jawabannya
Sasuke.”
“Hn. Kau sedang ada masalah?”
“Masalah? Bukankah setiap orang pasti
punya masalah...” jawab Hinata tanpa memandang Sasuke.
“Apa kau sakit, Hinata?”
“Kenapa kau jadi banyak bertanya
Sasuke... Sejak kapan ‘Pangeran Es’ sepertimu jadi banyak bicara?”
“Aku khawatir padamu Hinata,” jawab
Sasuke sedikit mendengus.
Hinata yang mendengarnya merasa
sedikit terhibur. Menggoda Sasuke merupakan salah satu hobinya, dia mendapat
kesenangan tersendiri karenanya. Hinata mengalihkan pada Sasuke yang duduk
disampingnya.
“Apa aku terlihat seperti orang
sakit, Sasuke?” tanya Hinata dengan menunjukkan wajah innocentnya.
“Tch.”
Hinata hanya terkikih geli
menanggapinya.
“Okaa-san menagih janjimu.”
“Janji? Memangnya aku punya janji
dengan Mikoto baa-san?” tanya Hinata sambil mengalihkan pandangannya kembali ke
angkasa.
“Makan siang.”
Hinata tampak mengernyitkan dahinya,
tidak mengerti maksud perkataan singkat Sasuke. Tapi sedetik kemudian dia ingat
Mikoto telah mengundangnya untuk makan siang bersama.
“Memangnya kapan?”
“Besok.”
“Hm, besok tou-sama pulang malam dan
Hanabi-chan ada acara dengan teman-temannya... Yaah, boleh lah... tapi apa
tidak merepotkan?”
“Tentu saja tidak. Kaa-san sendiri
yang mengundangmu kan...”
“Yaa, baiklah...”
Setelah itu tidak ada yang bicara.
Mereka selalu menyukai keheningan yang tercipta diantara mereka, walaupun
terkadan Hinata merasa jengah juga.
“Sebaiknya kau segera masuk Hinata,
udaranya sudah mulai dingin.”
‘Kenapa kau perhatian sekali, Sasuke?
Kalau begini aku akan lebih sulit untuk membuang perasaan ini’
“Hinata?” panggil Sasuke karena tidak
mendapat tanggapan dari Hinata. Dia mulai khawatir, tidak biasanya
Hinata
begini. Hinata adalah orang yang tidak suka melamun, dan sekarang dia sedang
melakukannya. Pandangannya terlihat kosong.
“Hinata?” panggil Sasuke lagi.
“Hm, ya. Sebaiknya kau juga segera
pulang, Mikoto baa-san dan Ita-nii pasti mencarimu,” jawabnya seraya berdiri
dari duduknya.
“Hn. Kau yakin baik-baik saja,
Hinata?” tanya Sasuke memastikan.
Hinata tersenyum menanggapi
pertanyaan Sasuke. Sepertinya dia benar-benar khawatir, pikirnya.
“Ya. Selamat malam Sasuke,” pamit
Hinata seraya berjalan memasuki rumahnya.
.
.
.
“Kenapa baru datang, Hinata-chan?”
“Kenapa tidak berangkat bareng
Sasuke?”
“Kalian sedang bertengkar yaa?”
Baru saja Hinata memasuki kelasnya,
dia sudah diberondong pertanyaan oleh dua temannya; Ino dan Sakura.
“Mm, t-tidak ada apa-apa kok
Ino-chan, Sakura-chan... Aku hanya kesiangan saja...”
“Kau kesiangan Hinata?” tanya Sakura
dan Ino kompak. Mereka tidak percaya seorang Hyuuga Hinata bisa bangun
kesiangan.
“Apa kau sakit Hinata-chan?”
“Atau sedang ada masalah?”
“T-tidak kok... Aku hanya kelelahan
saja, jadi kesiangan... Aku baik-baik saja, Sakura-chan, Ino-chan...”
Baru saja Sakura dan Ino mau bertanya
lebih lanjut pada Hinata, lonceng tanda masuk sudah berbunyi.
Karena hari ini
jam pertama pelajaran Asuma-sensei yang super disiplin, Ino dan Sakura segera
menuju tempat duduk mereka.
‘Syukurlah...’
.
.
.
Lonceng tanda istirahat sudah
berbunyi. Hinata segera melesat menuju perpustakaan. Dia tidak ingin Sakura dan
Ino menanyainya lagi tentang bangunnya yang kesiangan. Hinata tidak ingin
Sakura dan Ino menjadi curiga, karena Hinata tidak pandai berbohong, setiap dia
berbohong gagapnya pasti kambuh dan dua temannya itu sudah hafal dengan
kebiasaan Hinata tersebut. Hinata tidak ingin mereka menyadari kesedihan
Hinata, apalagi sekarang Sasuke dan Sakura sudah mulai dekat.
Jadi, disinilah Hinata sekarang.
Perpustakaan. Tempat favoritnya selain taman KSHS. Di perpustakaan dia juga
bisa mendapatkan ketenangan. Namun, tidak untuk kali ini. Berharap dapat
menghindar dari kedua temannya yang memiliki rasa ingin tahu diatas rata-rata,
kini disini Hinata justru bertemu dengan sahabatnya yang dari tadi malam sangat
mengkhawatirkan keadaan Hinata. Uchiha Sasuke.
Padahal Hinata belum mau bertemu
dengan Sasuke. Entah mengapa saat melihatnya hatinya terasa diremas-remas,
sakit. Apalagi saat mengetahui kalau tadi pagi sahabatnya itu berangkat dengan
‘malaikat’nya; Sakura. Ada perasaan tidak rela timbul dihatinya. Hanya dia yang
mendapat kehormatan ‘itu’; berangkat bersama Pangeran Konoha terkeren. Tapi dia
sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat Sasuke bahagia walau harus
meremukkan hatinya, dan dia juga sudah berjanji pada Sasuke akan membantunya
mendekatkannnya dengan Sakura.
Hinata mencoba untuk mengacuhkan
pandangan tajam Sasuke yang seakan mengintimidasinya. Walau dia terlihat sedang
membaca buku, tapi sebenarnya Hinata sama sekali tidak membaca buku yang
dipilihnya. Jantungnya berdetak sangat cepat, tak urung rona marah terkadang
muncul disekitar tulang pipinya karena diperhatikan seperti itu oleh Sasuke.
Ya, Sasuke sedang minta penjelasan pada Hinata kenapa dia bisa bangun
kesiangan. Hinata sendiri bingung kenapa mereka mempermasalahkan hal sepele
macam itu.
‘Huh, abaikan saja Hinata...’ batin
Hinata. Setelah mengehela nafas, dia mencoba untuk konsentrasi pada bukunya.
“Jadi?” tanya Sasuke, karena
pertanyaannya yang tadi tidak mendapat tanggapan dari Hinata. Hinata sendiri
masih pura-pura konsentrasi membaca bukunya.
“Hinata?”
“Apa?” jawabnya singkat tanpa
mengalihkan pandangannya.
“Jadi kenapa kau bisa kesiangan?”
“Apa itu penting? Yang penting aku
tidak terlambat kan...”
“Tatap aku Hinata. Aku tau kau
meyembunyikan sesuatu.”
“Tidak.”
“Kalau begitu apa sulit untuk
menatapku?”
“....”
“....”
“....”
Sasuke menghela nafas bosan karena
tidak mendapat tanggapan dari Hinata.
“Aku baik-baik saja Sasuke, hanya
kelelahan saja kok... Hari ini aku harus mengumpulkan tugas dari Asuma-sensei
yang super banyak itu, jadi aku lembur tadi malam,” kata Hinata yang menyadari
sahabatnya itu mulai marah. Dia memasang senyum manisnya;walau terlihat
dipaksakan; untuk meyakinkan Sasuke.
“Hn. Nanti siang jadi, kan?”
“Hm.. ya, tapi kau pulang dulu saja.
Aku masih ada perlu di sekolah nanti,”
“Aku akan segera ke rumahmu setelah
selesai dengan urusanku,” kata Hinata sebelum Sasuke sempat bertanya. Hinata
hanya tersenyum melihat wajah Sasuke. Wajah Sasuke yang seperti itu hanya
Hinata yang tau. Tapi mungkin suatu saat ekspresi Sasuke yang seperti itu akan
dapat dilihat Sakura juga. ‘Lagi-lagi rasanya sakit kalau memikirkan hal itu.’
“Sampai jumpa nanti siang Sasuke...”
Hinata segera meninggalkan Sasuke. Dia tidak ingin Sasuke melihat air matanya
yang hampir jatuh.
‘Kenapa dengan Hinata? Apa tadi dia
menangis?’
.
.
.
“Oh, Hinata... baa-san kira kau tidak
jadi datang,” sapa Mikoto ketika membukakan pintu untuk Hinata.
“Pasti saya datang baa-san, saya kan
sudah janji...”
“Kalau begitu ayo masuk.”
Hinata mengikuti Mikoto yang berjalan
menuju ruang makan. Di ruang makan sudah ada Sasuke, Itachi, dan Hana; kekasih
Itachi. Fugaku; ayah Sasuke; biasanya tidak makan siang di rumah, karena sedang
bekerja. Walau Itachi juga bekerja di perusahaan yang sama dengan Fugaku, dia
selalu menyempatkan makan siang di rumah agar ibunya tidak merasa kesepian.
“Hinata-chan, long time not see...” sapa Hana.
“Iya, Hana-nee... bagaimana kabar
Hana-nee?”
“Baik, kau sendiri?”
“Apa aku terlihat seperti orang
sakit?” tanya balik Hinata disertai senyum khasnya.
“Hm, kurasa kau terlihat sedikit
kurang baik...”
“Aku hanya kelelahan, akhir-akhir ini
banyak tugas.”
“Hm, syukurlah kalau tidak
apa-apa...”
Hana dan Hinata kemudian membantu
Mikoto menyiapkan makanan. Sedangkan Itachi dan Sasuke yang menata makanan di
meja makan.
Makan siang bersama itu pun
berlangsung dengan diiringi percakapan-percakapan kecil. Terkadang diselingi tawa saat Mikoto
menceritakan kebiasaan Sasuke dan Itachi ketika masih kecil. Hinata sangat
menikmati makan siang kali ini, sudah lama dia tidak merasakan suasana keluarga
saat makan bersama setelah ibunya pergi. Jika sedang makan bersama, Hiashi
hanya mengeluarkan suara seperlunya saja. Terkadang dia juga mau berbasa-basi
dengan menanyakan sekolah Hinata dan Hanabi, tapi dia lebih sering diam sambil
menikmati makanannya.
“Bagaimana hubunganmu dengan Sasuke,
Hinata-chan?”
Hinata yang sedang mengunyah
makanannya langsung tersedak mendengar pertanyaan Mikoto yang tiba-tiba.
“Uhuk... uhuk.. uhuk...”
“Eh? Kau baik-baik saja Hinata-chan?”
tanya Mikoto khawatir.
“Pelan-pelan, Hinata...” Hana yang
duduk disamping Hinata mengurut tengkuk Hinata. “Ini minum...”
“T-terima kasih, Hana-nee.”
“Kau tidak apa-apa Hinata-chan?”
tanya Mikoto lagi yang tampak cemas.
“T-tidak apa-apa kok, baa-san...”
“Kaa-san jangan tanya hal yang tidak
perlu seperti itu,” kata Sasuke yang daritadi diam. Dia menyadari tersedaknya
Hinata karena pertanyaan tiba-tiba dari kaa-sannya.
“Eh? Memangnya kaa-san tadi tanya
apa?” tanya Mikoto yang tampaknya sudah mulai pikun. (*author ditendang Mikoto)
“Bagaimana hubungan Hinata dan
Sasuke,” jawab Itachi datar.
“Ada yang salah dengan pertanyaan
itu?”
“A-ah, tentu saja hubungan kami
baik-baik saja baa-san...”
“Apa ada perkembangan?”
“P-pe-perkembangan? M-maksud
baa-san?”
“Yaah, kalian sudah bersahabat sejak
kecil, jadi siapa tau-“
“T-tidak. Kami tetap bersahabat
seperti dulu kok...” potong Hinata yang sepertinya sudah bisa menebak arah
pembicaraan Mikoto.
Hana yang melihat wajah Hinata yang
sudah semerah rambut Gaara terkikik geli, Itachi yang melihatnya hanya
tersenyum tipis, sedangkan Sasuke hanya mendengus kecil.
.
.
.
Saat ini Sasuke dan Hinata sedang
duduk-duduk dibawah pohon apel di taman belakan rumah Sasuke. Sejak tadi tidak
ada yang bersuara diantara mereka. Sasuke sedang sibuk dengan pikirannya
sendiri, sedangkan Hinata masih memikirkan pertanyaan Mikoto tadi saat makan
siang, terkadang rona merah mewarnai pipinya.
“Kau masih memikirkannya ya?”
“Eh?”
“Pertanyaan kaa-san yang tadi.”
“O-oh, tidak kok...”
“Kau tidak pandai berbohong,
Hinata... sejak tadi wajah memerah terus.”
“T-tidak...” Hinata terus menyangkal
walau yang dikatakan Sasuke tidaklah salah.
“Tidak usah dipikirkan.”
“I-iya. S-sepertinya ada yang ingi
k-kau bicarakan Sasuke?”
“Hinata...”
“Hm,”
“Besok aku akan mengakhiri semuanya.”
Hinata mengernyitkan keningnya tidak
mengerti perkataan Sasuke. ‘Apa maksudnya? Mengakhiri apa? Oh,
jangan-jangan...’
“Aku akan menyatakan perasaanku
pada’nya’.”
Dan saat itu juga air mata Hinata
turun membasahi pipinya. Air matanya yang selama ini selalu ditahannya, kini
tak bisa lagi ditahannya saat mendengar kalimat terakhir Sasuke.
.
.
.
TBC
Saya sih, berharap ada yang mau berkomentar.. tapi kalau pun nggak ada nggak apa kok, ada yang baca aja udah bikin saya seneng ^^
Kalau gitu, selamat bertemu di chapter selanjutnya yaaah.. #IWish :P